Rabu, 04 Desember 2013

Essai



“Tulang Rusuk yang Terpuruk”
Oleh : Tri Indah Sari

Jika memang dirimulah tulang rusuk ku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Ku akan tua dan mati dalam peluk mu
Untukmu seluruh nafas ini
            Untaian kalimat diatas memang hanyalah bagian lirik lagu yang dinyanyikan oleh Last Child ft. Giselle. Tetapi benarkah bahwa Wanita adalah tulang rusuk Pria? Jika memang jawabannya adalah ya, mengapa Wanita dianggap sebagai malapetaka karena menyebabkan ter-usirnya Adam dari Surga? Bukankah Pria tak akan sempurna tanpa seorang Wanita? tapi mengapa Wanita malah dinilai sebagai mahkluk yang lemah, merepotkan dan tak berdaya serta tidak bisa berbuat apa-apa? disatu sisi, Wanita dikatakan sebagai “Perhiasan Dunia” apabila mampu mengembangkan potensi kebaikannya dari pada potensi keburukannya. Namun, disisi lain sebuah pepatah mengatakan bahwa Wanita adalah “Racun Dunia” karena titik lemahnya terletak pada kemewahan dan keindahan dunia. Hal ini tentu saja menyudutkan hampir seluruh kaum hawa didunia. Tetapi pada dasarnya kedua pernyataan ini adalah sebuah realita. Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa fakta. Diantaranya, Julius Caesar yang gagah perkasa terbukti bertekuk lutut dikaki Cleopatra, Napoleon Bonaparte dengan dukungan bala tentara yang hebat dan tak terkalahkan dizamannya ternyata tak berdaya dan tunduk dikaki Margareth Josephine, Perdana Menteri Jepang Umno dipaksa mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri karena terlibat skandal dengan Geisa. Bahkan di Indonesia banyak Pejabat Pemerintah maupun wakil rakyat yang jatuh karier Politiknya gara-gara Skandal dengan Wanita. Pada dasarnya, Wanita memiliki Eksistensi yang luar biasa sehingga berhak untuk mempunyai derajat yang sama dengan seorang Pria. Betapa tidak? Tolok ukur wanita bukan milik manusia biasa. Air susunya konsumsi para balita, mengandung gizi serta protein yang sangat tinggi bahkan mampu mencerdaskan otak manusia, Kasih sayangnya adalah kasih sayang sejati yang hanya memberi dan tak harap kembali.
Kini Wanita semakin eksis, ada yang duduk sebagai karyawati, pengusaha, eksekutif dan legislatif. Bahkan Republik Indonesia pernah dipimpin oleh seorang Wanita,  Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2001 - 2004. Tetapi, kadang kala Wanita sering dipandang sebelah mata. Dibidang Politik, keterwakilan Perempuan di DPR sebesar 101 anggota atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009-2014. Adapun keterwakilan Perempuan di DPD dari total 132 calon anggota DPD sebesar 17,84% (36 orang). Meskipun meningkat dibandingkan hasil Pemilu sebelumnya, angka itu belum memenuhi kuota 30% seperti yang ditargetkan. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena budaya dan praktik Politik di Indonesia belum memberikan kesempatan secara memadai bagi Perempuan untuk berkarier dibidang Politik. Padahal, semestinya Perempuan diberikan ruang dan kesempatan yang luas untuk berkiprah dan meniti kemampuannya. Hal ini karena keterlibatan Perempuan dalam Politik menjadi salah satu strategi untuk mendorong kebijakan publik yang Pro-Perempuan.
Selain itu, kesetaraan Gender yang dielu-elukan oleh PBB dengan dikumandangkannya “Emansipasi Wanita” ditahun 1950-1960an juga Konvensi PBB  di Wina butir ketiga telah menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan pada tahun 1993, nyatanya belum mampu menyetarakan kedudukan derajat antara Perempuan dengan Laki-laki sampai saat ini.
Hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sering terjadi dimana-mana.
Di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam, dari 25.522 kasus (2007) menjadi 54.425 kasus (2008) dan dari data tahun 2009–2010, jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 143.586 kasus. Angka ini meningkat sebesar 263% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82%) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka kejahatan trafficking juga masih tinggi. Setiap tahun lebih dari 100.000 anak dan perempuan diperdagangkan. Siapakah pelakunya? Tentu saja suami, mantan suami, pacar, kakak ipar, adik ipar, bahkan mertua yang merupakan orang – orang terdekat dari Perempuan itu sendiri.
Sementara, khusus di kota Gorontalo sendiri kasus KDRT sudah bukan merupakan hal yang baru lagi. Dan dalam kurun waktu yang terbilang belum terlalu lama, telah terjadi kasus KDRT antara sepasang suami istri yang sama – sama berprofesi sebagai PNS dan bertempat tinggal di Kecamatan Limba U2. Rumah tangga yang telah dibina dalam waktu 7 tahun lamanya dan sudah memiliki 5 orang anak, harus mengalami kasus KDRT, hanya karena persoalan kecil yang kemudian dibesar – besarkan. Penyebab dari KDRT ini sendiri terbagi menjadi tiga faktor. Pertama, ketimpangan gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap dan lebih hebat dari pada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah, kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan perempuan kerap tidak berdaya dihadapan laki-laki.
Kedua, penegakan hukum yang lemah. Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun dalam praktiknya belum bisa menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. UU KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan, kurangnya sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarkhi. Konstruk budaya masyarakat melalui sistem sosial, ekonomi dan politik yang berlaku secara alamiah serta didukung dengan penilaian agama dan hukum adat yang memberikan otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum laki-laki.
Lantas, sampai kapan kasus KDRT di Gorontalo ini akan terus terjadi? Bagaimana nasib dan masa depan Perempuan Gorontalo jika hal ini hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah setempat? Apakah Perempuan Gorontalo harus terus menerus dalam keterpurukan?  
Tidak pernahkah kita menapak tilas tentang tanggal Dua puluh satu April, yang merupakan salah satu hari besar nasional dan dikenal dengan sebutan “Hari Kartini”. Mengapa begitu monumentalnya seorang Raden Ajeng Kartini dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia? Raden Ajeng Kartini adalah seorang perempuan bangsawan yang terbelenggu dan terjajah oleh adat dan feodalisme. Ia memberontak melalui kemerdekaan berpikirnya untuk mendapatkan kesempatan dan kesetaraan dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Pikiran dan perasaannya itu dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang kemudian dibukukan sebagai kumpulan surat-suratnya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ada sebuah ungkapan “satu peluru hanya menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala”. Tulisan yang menembus ribuan dan jutaan kepala itu tentu adalah tulisan yang di dalamnya tercermin energi, rasa bahasa, pesona dan daya tarik yang mengaduk-aduk pikiran dan perasaan serta imajinasi pembacanya. Di sanalah kekuatan rasa bahasa itu menunjukan siapa diri kita.
Perjuangan R.A. Kartini yang dikisahkan dalam surat-suratnya itulah yang kemudian menjadikannya tokoh perempuan Indonesia. Dan hari kelahirannya kemudian diperingati sebagai Hari Kartini.
Lantas, benarkah UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan didalam rumah tangga dan seharusnya dapat melindungi perempuan dan anak yang merupakan pihak yang paling rentan didalam rumah, telah terlaksana dengan baik di Negara kita? Sungguh sangat disayangkan karena pada kenyataannya, Undang-undang tersebut justru malah kerap digunakan aparat penegak hukum untuk mengkriminalkan korban Perempuan.
Sebagai Kesimpulan, Kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan kompleks yang diakibatkan ketimpangan gender, hukum yang lemah dan budaya patriarkhi. Untuk mengatasinya butuh kesepakatan dan kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat, kaum intelektual, praktisi, akademisi, budayawan dan agamawan agar menempatkan kasus KDRT sebagai musuh bersama. Butuh kesepakatan bahwa kekerasan apa pun bentuknya, termasuk KDRT merupakan kejahatan hak asasi manusia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan.
Jangan biarkan keadaan Tulang Rusuk yang Terpuruk akan semakin memburuk, mari kita lindungi kaum perempuan dari KDRT, serta kita ciptakan masa depan perempuan Gorontalo yang lebih Sejahtera, bermartabat dan berguna untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena keinginan terbesar bagi setiap wanita adalah menjadi istri yang baik bagi suaminya yang pada akhirnya akan menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya, serta setiap Lelaki diciptakan untuk menjadi pemimpin bagi kaum Perempuan. Namun sekeras dan seego apapun laki-laki, air matanya akan menetes juga bila hatinya dilukai. Jadi, intinya Tuhan menciptakan Perempuan dan laki – laki, bukan untuk saling menyakiti melainkan untuk saling melengkapi dan mengasihi.