“Tulang Rusuk yang
Terpuruk”
Oleh
: Tri Indah Sari
Jika
memang dirimulah tulang rusuk ku
Kau
akan kembali pada tubuh ini
Ku
akan tua dan mati dalam peluk mu
Untukmu
seluruh nafas ini
Untaian
kalimat diatas memang hanyalah bagian lirik lagu yang dinyanyikan oleh Last
Child ft. Giselle. Tetapi benarkah bahwa Wanita adalah tulang rusuk Pria? Jika
memang jawabannya adalah ya, mengapa Wanita dianggap sebagai malapetaka karena
menyebabkan ter-usirnya Adam dari Surga? Bukankah Pria tak akan sempurna tanpa
seorang Wanita? tapi mengapa Wanita malah dinilai sebagai mahkluk yang lemah, merepotkan dan tak
berdaya serta tidak bisa berbuat apa-apa? disatu sisi, Wanita dikatakan sebagai
“Perhiasan Dunia” apabila mampu mengembangkan potensi kebaikannya dari pada
potensi keburukannya. Namun, disisi lain sebuah pepatah mengatakan bahwa Wanita
adalah “Racun Dunia” karena titik lemahnya terletak pada kemewahan dan
keindahan dunia. Hal ini tentu saja menyudutkan hampir seluruh kaum hawa
didunia. Tetapi pada dasarnya
kedua pernyataan ini adalah sebuah realita. Hal ini bisa dibuktikan dengan
beberapa fakta. Diantaranya, Julius Caesar yang gagah perkasa terbukti bertekuk lutut dikaki
Cleopatra, Napoleon Bonaparte dengan dukungan bala tentara yang hebat dan tak
terkalahkan dizamannya ternyata tak berdaya dan tunduk dikaki Margareth
Josephine, Perdana Menteri Jepang Umno dipaksa mundur dari jabatannya sebagai Perdana
Menteri karena terlibat skandal dengan Geisa. Bahkan di Indonesia banyak
Pejabat Pemerintah maupun wakil rakyat yang jatuh karier Politiknya gara-gara
Skandal dengan Wanita. Pada dasarnya, Wanita memiliki Eksistensi yang luar biasa sehingga berhak untuk
mempunyai derajat yang sama dengan seorang Pria. Betapa tidak? Tolok ukur wanita bukan milik
manusia biasa. Air susunya konsumsi para balita, mengandung gizi serta protein
yang sangat tinggi bahkan mampu mencerdaskan otak manusia, Kasih sayangnya adalah
kasih sayang sejati yang hanya memberi dan tak harap kembali.
Kini Wanita semakin eksis, ada yang duduk sebagai
karyawati, pengusaha, eksekutif dan legislatif. Bahkan Republik Indonesia
pernah dipimpin oleh seorang Wanita,
Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2001 - 2004. Tetapi, kadang
kala Wanita sering dipandang sebelah mata. Dibidang Politik,
keterwakilan Perempuan di DPR sebesar 101 anggota atau 18,04% dari 560 anggota
DPR periode 2009-2014. Adapun keterwakilan Perempuan di DPD dari total 132 calon
anggota DPD sebesar 17,84% (36 orang). Meskipun meningkat dibandingkan hasil
Pemilu sebelumnya, angka itu belum memenuhi kuota 30% seperti yang ditargetkan.
Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena budaya dan praktik Politik di
Indonesia belum memberikan kesempatan secara memadai bagi Perempuan untuk
berkarier dibidang Politik. Padahal, semestinya Perempuan diberikan ruang dan
kesempatan yang luas untuk berkiprah dan meniti kemampuannya. Hal ini karena keterlibatan Perempuan
dalam Politik menjadi salah satu strategi untuk mendorong kebijakan publik yang
Pro-Perempuan.
Selain itu, kesetaraan Gender yang dielu-elukan oleh PBB dengan
dikumandangkannya “Emansipasi Wanita” ditahun 1950-1960an juga Konvensi
PBB di Wina butir ketiga telah
menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan berbasis gender dan
segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta
harus dihapuskan pada tahun 1993, nyatanya belum mampu menyetarakan kedudukan
derajat antara Perempuan dengan Laki-laki sampai saat ini.
Hal ini dibuktikan dengan semakin
maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sering terjadi
dimana-mana.
Di Indonesia kasus kekerasan
terhadap perempuan meningkat tajam, dari 25.522 kasus (2007) menjadi 54.425
kasus (2008) dan dari data tahun 2009–2010, jumlah kekerasan terhadap perempuan
mencapai 143.586 kasus. Angka ini meningkat sebesar 263% dibandingkan tahun
sebelumnya. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82%) merupakan kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka kejahatan trafficking juga masih
tinggi. Setiap tahun lebih dari 100.000 anak dan perempuan diperdagangkan.
Siapakah pelakunya? Tentu saja suami, mantan suami, pacar, kakak ipar, adik
ipar, bahkan mertua yang merupakan orang – orang terdekat dari Perempuan itu
sendiri.
Sementara,
khusus di kota Gorontalo sendiri kasus KDRT sudah bukan merupakan hal yang baru
lagi. Dan dalam kurun waktu yang terbilang belum terlalu lama, telah terjadi
kasus KDRT antara sepasang suami istri yang sama – sama berprofesi sebagai PNS
dan bertempat tinggal di Kecamatan Limba U2. Rumah tangga yang telah dibina
dalam waktu 7 tahun lamanya dan sudah memiliki 5 orang anak, harus mengalami
kasus KDRT, hanya karena persoalan kecil yang kemudian dibesar – besarkan.
Penyebab dari KDRT ini sendiri terbagi menjadi tiga faktor. Pertama,
ketimpangan gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap
dan lebih hebat dari pada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah,
kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan perempuan
kerap tidak berdaya dihadapan laki-laki.
Kedua,
penegakan hukum yang lemah. Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah
satu contohnya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), namun dalam praktiknya belum bisa menekan angka kekerasan
dalam rumah tangga. UU KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan,
kurangnya sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
Ketiga,
dominasi nilai-nilai patriarkhi. Konstruk budaya masyarakat melalui sistem
sosial, ekonomi dan politik yang berlaku secara alamiah serta didukung dengan
penilaian agama dan hukum adat yang memberikan otoritas lebih kepada laki-laki
daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek
kekerasan kaum laki-laki.
Lantas,
sampai kapan kasus KDRT di Gorontalo ini akan terus terjadi? Bagaimana nasib
dan masa depan Perempuan Gorontalo jika hal ini hanya dipandang sebelah mata
oleh pemerintah setempat? Apakah Perempuan Gorontalo harus terus menerus dalam keterpurukan?
Tidak pernahkah kita menapak tilas tentang tanggal
Dua puluh satu April, yang merupakan salah satu hari besar nasional dan dikenal
dengan sebutan “Hari Kartini”. Mengapa begitu monumentalnya seorang Raden Ajeng
Kartini dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia? Raden Ajeng Kartini
adalah seorang perempuan bangsawan yang terbelenggu dan terjajah oleh adat dan
feodalisme. Ia memberontak melalui kemerdekaan berpikirnya untuk mendapatkan
kesempatan dan kesetaraan dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Pikiran dan
perasaannya itu dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang kemudian dibukukan
sebagai kumpulan surat-suratnya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ada sebuah
ungkapan “satu peluru hanya menembus satu
kepala, tapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala”.
Tulisan yang menembus ribuan dan jutaan kepala itu tentu adalah tulisan yang di
dalamnya tercermin energi, rasa bahasa, pesona dan daya tarik yang
mengaduk-aduk pikiran dan perasaan serta imajinasi pembacanya. Di sanalah
kekuatan rasa bahasa itu menunjukan siapa diri kita.
Perjuangan
R.A. Kartini yang dikisahkan dalam surat-suratnya itulah yang kemudian
menjadikannya tokoh perempuan Indonesia. Dan hari kelahirannya kemudian
diperingati sebagai Hari Kartini.
Lantas, benarkah UU No.23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan didalam rumah tangga dan seharusnya dapat melindungi
perempuan dan anak yang merupakan pihak yang paling rentan didalam rumah, telah
terlaksana dengan baik di Negara kita? Sungguh sangat disayangkan karena pada
kenyataannya, Undang-undang tersebut justru malah kerap digunakan aparat
penegak hukum untuk mengkriminalkan korban Perempuan. Kasus
kekerasan dalam rumah tangga kerap diperlakukan sebagaimana kasus kriminal
lainnya, dimana aparat penegak hukum hanya menggunakan perspektif normatif dan
berdasarkan pemenuhan unsur-unsur delik pidana dan pengumpulan saksi serta alat
bukti. Ketika terjadi pelaporan balik oleh Suami yang sebelumnya telah
melakukakan kekerasan, aparat meletakkan posisi Perempuan yang sebeneranya
adalah korban justru dianggap sebagai pelaku kekerasan tanpa mengindahkan fakta
kekerasan gender dan relasi rumah tangga. Atau lebih spesifiknya
Saat terjadi kekerasan yang memuncak, ketika ada perlawanan dari istri maka istri ini juga dilaporkan oleh suaminya ke kepolisian. Lalu kepolisian hanya melihat dan ini hampir disemua institusi penegak hukum, analisanya hanyalah analisa hukum. saat diproses secara hukum maka dia (istri) bisa menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Sementara di dalam latar belakangnya dia sebagai korban bukan pelaku. Lantas terletak dimanakah hak Perempuan sebagai korban? Bahkan acap kali, banyak perempuan yang cenderung merasa takut untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya kepada pihak yang berwajib. Alasannya karena beberapa faktor tertentu, misalnya takut kepada pelaku, malu bila aibnya diketahui oleh publik dan budaya permisif yang cenderung memaafkan pelaku.
Saat terjadi kekerasan yang memuncak, ketika ada perlawanan dari istri maka istri ini juga dilaporkan oleh suaminya ke kepolisian. Lalu kepolisian hanya melihat dan ini hampir disemua institusi penegak hukum, analisanya hanyalah analisa hukum. saat diproses secara hukum maka dia (istri) bisa menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Sementara di dalam latar belakangnya dia sebagai korban bukan pelaku. Lantas terletak dimanakah hak Perempuan sebagai korban? Bahkan acap kali, banyak perempuan yang cenderung merasa takut untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya kepada pihak yang berwajib. Alasannya karena beberapa faktor tertentu, misalnya takut kepada pelaku, malu bila aibnya diketahui oleh publik dan budaya permisif yang cenderung memaafkan pelaku.
Hal
ini seharusnya menjadi bahan renungan untuk para kaum Adam.
Pedulikah
mereka terhadap nasib para perempuan Indonesia umumnya dan Perempuan Gorontalo
khusunya, yang hidup teraiaya dan berada disekitar mereka? Tidakkah mereka menyadari
betapa pentingnya peran Perempuan bagi kehidupan? Dapatkah mereka membayangkan
bila tak ada perempuan yang hidup didunia? Darimana anak dan cucu bangsa
Indonesia akan lahir? Tentu saja hanya dari rahim seorang perempuan.
Pernahkan
mereka membayangkan betapa banyak pasangan diluar sana yang tidak bisa bersatu
hanya karena terhalang oleh perbedaan suku, agama, ras, ethnic dsb?
Apakah
mereka tidak bersyukur karena mereka bisa bersatu tanpa terhalang oleh
perbedaan seperti pasangan – pasangan yang lainnya? Bukankah sebuah pernikahan
hanya dapat terjadi karena kedua pihak saling mencintai? Lalu mengapa harus ada yang menyakiti dan
tersakiti? Jika jawabannya adalah “yah” berarti Tulang Rusuk akan semakin
Terpuruk.
Sebagai
Kesimpulan, Kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan kompleks yang
diakibatkan ketimpangan gender, hukum yang lemah dan budaya patriarkhi. Untuk
mengatasinya butuh kesepakatan dan kesadaran bersama dari seluruh elemen
masyarakat, kaum intelektual, praktisi, akademisi, budayawan dan agamawan agar
menempatkan kasus KDRT sebagai musuh bersama. Butuh kesepakatan bahwa kekerasan
apa pun bentuknya, termasuk KDRT merupakan kejahatan hak asasi manusia yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan.
Jangan biarkan keadaan Tulang
Rusuk yang Terpuruk akan semakin memburuk,
mari kita lindungi kaum perempuan dari KDRT, serta kita ciptakan masa depan
perempuan Gorontalo yang lebih Sejahtera, bermartabat dan berguna untuk
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena keinginan terbesar bagi setiap wanita
adalah menjadi istri yang baik bagi suaminya yang pada akhirnya akan menjadi
seorang ibu bagi anak-anaknya, serta setiap Lelaki diciptakan untuk menjadi
pemimpin bagi kaum Perempuan. Namun sekeras dan seego apapun laki-laki, air
matanya akan menetes juga bila hatinya dilukai. Jadi, intinya Tuhan menciptakan
Perempuan dan laki – laki, bukan untuk saling menyakiti melainkan untuk saling
melengkapi dan mengasihi.